Oleh: Ust. Suliadi, S.Pd.I, M.SI
Keheningan malam berakhir ditandai dengan
kokokan Ayam yang bersahutan di waktu fajar, menandakan waktu shubuh akan tiba,
sambil melawan ngantuk dengan kelopak mata yang masih berat untuk melihat
indahnya dunia di pagi hari seorang mukmin bangun dari dipan tidurnya yang
sederhana seraya mengucapkan do’a bangun tidur Alhamduliilahillazi ahyan
ba’da amatana wailahinnushur (segala puji bagi allah yang telah
menghidupkan kami sesudah mati kami dan kepada-Nyalah kebangkitan hari kiamat).
Selepas do’a dipanjatkan semangat bangun pagipun bergelora, Ia segera bergegas
mempersiapkan diri untuk memenuhi panggilan Ilahi sebagai wujud ketaatan dan
kepatuhannya kepada sang pencipta. Disaat yang berbarengan sayup-sayup suara azan
shubuhpun berkumandang saling bersahutan antara satu masjid atau mushola yang
ada disekitar tempat tinggalnya.
Melewati jalan
dusun yang beraspal dengan penerangan yang seadannya suasana remang-remangpun
terasa, Ia dengan berjalan kaki menuju kemushola guna melaksanakan sholat
berjamaah karena memang sholat berjamaah memiliki kelebihan 27 derajat jika dibandingkan
sholat sendiri semoga kita selalu dikuatkan untuk melaksanakannya.
Sholat shubuh berjamaah saat itu
hanya diikuti oleh 7 (tujuh) orang jamaah pria dengan rata-rata usia 50-an
keatas. Seusai sholat shubuh berjamaah mereka berdiskusi ringan sambil menunggu
terbitnya matahari. Celetukan awal
diawali oleh seorang jamaah Ia bergumam “ aku bersyukur cucuku yang sekarang
kelas 6 sudah bisa membaca Al-qur’an karena mengaji di TPQ dekat rumah”. Agar
ada yang mengirimkan kita do’a atau bacaan Al-qur’an. Ia ditimpali oleh jamaah
yang lainnya dengan ucapan “ Saya
sebenarnya menginginkan anak saya masuk pondok pesantren agar dapat mengaji dan
bisa hukum agama seperti sholat ini yang utama, namun sayang anakku takut
karena belum bisa mngaji dan tidak betah tinggal dipondok. Kegelisahan jamaah
itu ternyata diaminkan juga oleh seorang jmaaah yang Ia pensiunan PNS dan Juga
pernah menjadi kepala sekolah SD Ia mengatakan “zaman ini kalau anak sudah
tamat SD dan si anak belum bisa baca Al-qur’an, rasanya sulit dia akan bisa baca
Al-quran selanjutnya karena sudah memiliki lingkungan pergaulan yang berbeda
orang tua kadang-kadang di lawan” sambil dia menyebutkan nama anak-anak yang
belum bisa membaca al-qur’an sebagai contohnya. Jamaah yang lainpun menguatkan
dengan ungkapan “ begini keadaan anak-cucu kita saat ini jauh berbeda dengan
kita dahulu setiap magrib pergi mengaji di brugak-brugak (gazebo) coba kita lihat
di dusun kita ini yang penduduknya padat banyak para alumni pesantren namun
yang mengajari anak-anak mengaji hanya di 2 (dua) tempat sambil menyebutkan
nama pengajar di dua TPQ tersebut, sungguh kita khawatir dengan generasi muda
Islam selanjunnya, berIslam tapi tidak mengetahui ajarannya, BerIslam namun
tidak bisa membaca Al-qur’an apalagi dapat memahami dan melaksanakan
ajaran-ajaran Al-qur’an yang mulia ini.
Sekelumit, dialog santai di musholla
kecil nan sederhana dari 7 jamaah yang berusia lanjut sesudah sholat shubuh itu
ternyata bukan curhat biasa, yang hanya merupakan kegelisahan mereka saja
ternyata bukan begitu, melainkan merupakan harapan sekaligus kegelisahan semua
orang tua muslim yang menginginkan anak-cucunya selalu dekat dengan agama dan Al-qur’an
sebagaimana do’a para Nabi (Rabbi habli minassholihin ; “ Ya Allah
anugrahkanlah aku anak-cucu yang sholeh”).
Anak sholeh adalah anak yang
memiliki akhlak yang baik, taat kepada agama, dan memiliki keimanan yang kuat.
Mereka adalah anak-anak yang senantiasa berusaha untuk mengikuti ajaran agama
dengan sepenuh hati. Mereka beribadah dengan sungguh-sungguh, menjaga adab
dalam berinteraksi dengan sesama, dan selalu berusaha untuk meningkatkan
kualitas diri mereka sebagai hamba Allah.
Anak sholeh adalah idaman semua
orang tua, namun menjadi anak sholeh bukanlah hal yang mudah. dalam menghadapi
godaan dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan distraksi, para orang tua
kerap kali terjebak kepada dikotomi pemenuhan pendidikan bagi anak-anaknya tanpa
penyimbangan yang selaras dan sesuai kebutuhan guna mewujudkan harapan orang
tua, hal ini dapat terlihat pada;
-
Seberapa
banyak Orang tua sangat gelisah disaat anak-anaknya terlambat pergi les privat,
mengikuti kegiatan pengembangan bakat dan minat anak namun seberapa banyak pula
orang tua yang risau dan gelisah disaat anak-anaknya tidak pergi mengaji ke
Lembaga TPQ atau tempat pengajian lainnya.
-
Seberapa
banyak orang tua gelisah dan bahkan malu melihat anak-anak tidak berprestasi namun
seberapa banyak pula orang tua yang risau dan gelisah disaat anak-anaknya belum
mengetahui adab dan ajaran dasar agamanya.
-
Seberapa
banyak orang tua yang rela dan sudi merogoh kantong lebih demi anak-anaknya
dapat berkreasi dan pengembangan bakat serta minat anak-anaknya pada kegiatan
ekstrakurikuler, ;ife skill namun seberapa banyak juga orang tua yang rela
membantu dan rela merogok kantongnya untuk kelencaran kegiatan mengaji
anak-anaknya.
-
Seberapa
banyak orang tua yang tidak tegaan melihat anak-anaknya bekerja keras, disiplin
dan belajar mandiri dibandingkan dengan seberapa banyak orang tua yang
meninabobokkan anak-anaknya dalam kenikmatan dan perilaku instan generasi
rebahan (gen-Z).
Kerap kali para orang tua saat ini merasa
sudah berhasil dan sukses Ketika melihat anak-anaknya berprestasi, pandai dan
macho, walaupun anak-anaknya tidak bisa membaca al-qur’an, tidak memahami agama
dan selalu sering melalaikan kewajiban sholat lima waktu umpamanya. Kondisi
seperti ini mencerminkan adanya disparetas kepentingan dan tujuan dalam
mendidik anak. Kondisi inilah yang dapat disematkan sebagai Al-qur’an
diidamkan-Al-qur’an ditinggalkan. Karena Rasulullah saw bersabda yang artinya ”barang
siapa membiarkan anaknya dalam ketidaktahuan tentang agama, maka seluruh dosa
anaknya ditimpakan kepada orang tuanya (dikutip dari kitab Hadis tanqihul Qaul.
hal.5).
Kesadaran Ortu adalah kunci
Orang tua akan sengat bangga melihat
anak-anaknya selain jago matematimatika tapi juga jago dalam mengaji, orang tua
akan merasa bahagia disaat anak-anaknya berprestasi disekolah dan juga
berpresatsi dalam bearagama. Orang tua sangat terharu dalam suka cita disaat
anak-anaknya berilmu dan juga beradab. Kesadaran orang tua secara mandiri sangat
dibutuhkan dalam mengawal Pendidikan anak-anaknya dengan mulai menyeimbangkan
layanan pendidikan baik umum dan agama kepada anak-anaknya. Kontrol segala
kegiatan anak baik belajar dan bermain.
Berlaku tegas dan berikan tauladan yang baik kepada anak-anak kita karena orang
tuanyalah figur utama mereka yang pertama kali mereka kenal.
Pola pengasuhan anak yang sesuai
dengan umur anak ternyata sudah dituangkan oleh sayyidina Ali RA yang perlu
dilaksanakan oleh para orang tua muslim yang dikenal dengan pola parenting 7x3
ala Ali bin Abi Thalib sesuai tahapan usia.
1.
Usia 0-7 tahun
Pada usia 0 sampai 7 tahun, orang
tua baiknya menganggap anak sebagai raja. Artinya, seluruh pendidikan agama
anak masih di bawah tanggung jawab orang tua (ayah-ibu). "Dalam arti,
semua pendidikan agamanya, umumnya, yang bertanggung jawab adalah oleh orang
tua terutama ibunya. Karena madrasah utama adalah seorang ibu," Di usia
ini Ibu dan Ayah perlu mengajarkan anak-anak tentang kebesaran Allah serta
kecintaan kepada Rasulullah. Dengan catatan, Bunda dan Ayah perlu menjadi
teladan bagi mereka."Jadi kita manjakan anak kita, kita berikan pendidikan
sesuai dengan syariat kita, yaitu agama Islam. Kita berikan suri tauladan yang
baik, tidak hanya sekadar memerintah kepada anak, tetapi orang tuanya dijadikan
sebagai suri tauladan.
2.
Usia 8-14 tahun
Di tahapan usia selanjutnya yakni 8
hingga 14 tahun, Ibu dan ayah perlu mengajarkan anak tentang hak dan
kewajibannya dalam agama. Hal yang paling penting adalah salat.bahkan orang tua
boleh memukul anak jika mereka tidak mau salat. Namun, pukulan yang dimaksud
berupa pukulan kasih sayang. "Usia 7 tahun, orang tua ini bisa mendidik
anaknya memperkenalkan solat. Seandainya anak kita masih, maaf, tidak mau,
membangkang, itu diperbolehkan dengan dipukul. Dalam arti dipukul ini, ya,
pukulan kasih sayang." "Bahkan dalam satu hadis, orang tua ini harus
mempersiapkan rotan di rumahnya untuk mendidik anaknya. Tentang kewajiban kita
kepada Allah SWT itu perkara salat. Bisa dipukul tangannya, bokongnya, dengan
pukulan kasih sayang, tidak usah keras-keras. Jadi mengajari anak tentang hak
dan kewajiban," Tak hanya itu, orang tua juga harus mengajarkan anak
tentang berbakti kepada orang tua, berkata baik, serta berakhlak baik. Ajarkan
pula pendidikan lainnya seperti bermuamalah hingga yang
berhubungan dengan hablum minannas serta hablum
minallah.
3.
Usia 15 hingga 21
Pada tahapan ketiga, orang tua
seharusnya sudah memperlakukan anak sebagai sahabat. Di sini, orang tua tidak
boleh bertindak otoriter dan perlu menanamkan nilai musyawarah."Ketika ada
masalah, kita duduk bersama, bermusyawarah. Bicara dari hati ke hati, bermahabah,
berkasih sayang terhadap anak. Jadi kita bisa bermusyawarah, mendudukkan anak
dalam menghadapi masalah," Tahapan ini merupakan tahap di mana usia anak
sangat rentan. Jadi, orang tua tidak boleh memaksakan kehendak dan perlu
belajar menjadi orang tua yang lebih bijak.
Realita menunjukkan bahwa pola
pengasuhan orang tua muslim saat ini belum sepenuhnya telah mempraktekkan pola
asuh yang telah diterapkan oleh sahabat sekaligus menantu Rasulullah SAW. Pola pengasuhan
orang tua saat ini masih banyak menggunakan pola asuh pada level 7x1 yaitu
menjadikan anak sebagai raja padahal usia anaknya melebihi 7 tahun, 14 tahun
bahkan ada yang sudah berusia 21 tahun. Keadaan inilah yang membuat para orang
tua muslim selalu kalah dengan keinginan anak-anaknya. Anak-anaknya tidak mau
mengaji dibiarkan saja, malas mengaji dibiarkan saja, malas sholat dibiarkan
saja bahkan orang tua jarang sekali menanyakan anak-anaknya dengan ungkapan
sederhana sudahkah kamu sholat nak? Apalagi untuk mengajari anak-anaknya
bidang agama akidah, fikih dan akhlak.
Bagi orang tua mengenalkan Al-Qur’an dan ilmu
agama kepada anak adalah tugas penting dan ibadah yang sangat besar nilainya di
hadapan Allah swt, berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan orang tua
dalam mengenalkan Al-Qur’an dan ilmu agama kepada anak yaitu :
1.
Memberi
Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari. Anak cenderung meniru perilaku orang tua,
jadi tunjukkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islami, seperti shalat
tepat waktu, membaca Al-Qur’an, berdoa, dan menjaga sopan santun. Dengan
melihat orang tua menjalankan ajaran agama, anak akan lebih mudah memahami dan
mengikuti.
2.
Membuat
Rutinitas jadwal Mengaji. Jadikan
kegiatan membaca Al-Qur’an sebagai rutinitas harian yang santai, misalnya
setelah maghrib atau sebelum tidur. Dengan konsistensi, anak akan terbiasa dan
merasa bahwa mengaji adalah bagian dari keseharian.
3.
Memberi
Pemahaman tentang Makna dan Nilai Ajaran Agama. Anak-anak akan lebih menghargai
ajaran agama jika mereka memahami maknanya. Jelaskan hikmah di balik setiap
ibadah atau ajaran, seperti pentingnya berbuat baik, kejujuran, kasih sayang,
dan kebersihan.
4.
Melibatkan
Guru atau Pembimbing Agama. Jika memungkinkan, ajak anak belajar bersama guru
mengaji baik di TPQ atau Lembaga sejenisnya guna membantu anak memahami ajaran
agama dengan baik.
5.
Orang
tua perlu bersabar dan memberikan dukungan yang konsisten. Pendekatan yang
lembut dan penuh kasih sayang dalam memperkenalkan agama akan membuat anak
merasa nyaman dan akhirnya tumbuh dengan kecintaan terhadap Al-Qur’an dan
agama.
Sinergitas antar lembaga pendidikan
Saat ini memang benar Lembaga formal
Pendidikan dari Tingkat TK s/d Perguruan Tinggi telah memasukkan Pelajaran
agama sebagai Pelajaran wajib namun dengan alokasi waktu yang sangat terbatas.
Memang benar banyaknya Lembaga non-formal keagamaan telah berdiri dengan
berbagai jenjangnya seperti TPQ. Diniyah, Majlis Taklim, Rumah Tahfiz dsb yang
memang fokus dalam Pendidikan Al-qur’an dan agama islam namun peminatnya atau
anak-anak yang mengaji dari tahun ketahun mengalami trend penurunan dikarenakan
kecendrungan anak-anak yang begitu besar pada teman bermainnya seperti tontonan
di media visual, game dan gadget, ditambah lagi sikap orang tua yang tegaan dan
terkesan memanjakan anak-anaknya dengan
dalih anak saya masih kecil, dia sudah capek belajar dan belajar, biarkan dia
bermain karena masa anak-anak ya bermain”. Statemen-statemen orang tua tersebut
memang bagian dari kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya namun jika
berlebihan tanpa adanya proporsi yang seimbang bisa menjadi racun yang
mematikan dalam pengharapannya terhadap anak sholeh yang di idam-idamkan dimasa
yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan agama yang baik dan dengan
keteladanan baik dari orang tua sangat
penting dalam membentuk karakter anak sholeh.
Ternyata, kalau kita menelusuri fondasi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang dikelola oleh negara
dengan pemerintahnnya ditemukan rumusan, motto, nilai dan esensi dari segenap
visi, misi bernegara, visi-misi dari tujuan pendidikan Nasional dengan sadar
dan secara sah dimata hukum meletakkan fondasi nilai-nilai agama sebagai
pondasi utama seperti bunyi konseptal Tujuan Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Di dunia Pendidikan saat ini,
Pelajaran agama masih dirasa cukup dengan diberikan pada jam-jam tertentu dan
dengan pembiasaan-pembiasaan keseharian. Padahal sesuatu akan semakin dikenal,
diketahui, dipahami dan dibiasakan seiring dengan semakin banyaknya anak
dirutinkan dengan berbagai kegiatan yang bernilai religius dan karakter. Disisi lain dunia Pendidikan (sekolah) secara
kelembagaan telah berpacu dan berlomba-lomba dalam memprogramkan kegiatan peningkatan
skill anak melalui les-les privat dan kegiatan-kegoiatan ekstrakurikuler seperti
silat, drumband, gamelan, pramuka dan lain-lainnya dengan pembiayaan yang jelas
dari sekolah.
Penyimbangan antara kegiatan agama
dan kegiatan umum di sekolah sangat penting karena memiliki beberapa manfaat
yang berdampak positif bagi perkembangan anak, baik secara moral, intelektual,
maupun sosial. Secara sederhana dapat disodorkan sebuah pertanyaan mengapa pada
kegiatan-kegiatan les dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah mampu dilaksanakan,?
Seharusnya begitu juga untuk program keagamaan untuk dapat diprogramkan dan
dilaksanakan.
Lembaga Pendidikan sebagai salah
satu elemen yang berfungsi membackup orang tua dalam melakukan pola pengasuhan
anak dalam hal pemberian layanan pembelajaran al-qur’an dan penanaman
nilai-nilai ajaran agama, sinergitas antara lembaga Pendidikan formal dengan
Lembaga Pendidikan non-formal keagamaan seperti TPQ atau sejenisnya mungkin
dapat menjadi alternatif solusi pemecahan terhadap kebuntuan dalam pemberian
layanan pembelajaran al-quran dan Pendidikan agama bagi anak-anak, karena
anak-anak masih sangat taat terhadap aturan sekola terkadang taatnya
mengalahkan orang tuanya jika meminta atau menyuruhnya. Secara teknis sinergitas yang dapat dilakukan
oleh sekolah meliputi;
1.
Jalin
Kerjasama bidang keagamaan dengan Lembaga TPQ atau sejenisnya yang ada dan
berdekatan dengan sekolah.
2.
Jadikan
kegiatan TPQ menjadi bagian yang utuh dari kegiatan keagamaan di sekolah dengan
control dari dua arah yaitu dari Lembaga TPQ dan Sekolah secara rutin.
3.
Hasil
penilaian proses dan hasil dari raport di TPQ menjadi bagian dari hasil
terakhir siswa pada bidang agama dan karakter.
4.
Pemberian
jasa yang sesuai terhadap Lembaga TPQ melalui dana sekolah seperti BOS atau
sumber lainnya. Karena merupakan bagian dari kegiatan peningkatan kualitas anak
dibidang agama dan karakter
Dengan penyeimbangan program antara
kegiatan agama dan umum di sekolah, siswa akan mendapatkan pendidikan yang
komprehensif dan holistik. Keseimbangan ini penting untuk membantu siswa
menjadi generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan siap menghadapi tantangan di
masa depan.
Sebuah Renungan
Pidato BJ Habibie ketika berpidato di Kairo, beliau berpesan
"Saya diberikan kenikmatan oleh Allah ilmu technology sehingga saya bisa
membuat pesawat terbang, tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama itu lebih
bermanfaat untuk umat .Kalo saya disuruh memilih antara keduanya maka saya akan
memilih ilmu Agama." )
Sepi penghuni...
Istri sudah meninggal...
Tangan menggigil karena lemah...
Penyakit menggerogoti sejak lama...
Duduk tak enak, berjalan pun tak nyaman... Untunglah seorang
kerabat jauh mau tinggal bersama menemani beserta seorang pembantu...
Tiga anak, semuanya sukses... berpendidikan tinggi sampai ke luar
negeri...
» Ada yang sekarang berkarir di luar negeri... »
Ada yang bekerja di perusahaan asing dengan posisi tinggi... »
Dan ada pula yang jadi pengusaha ...
Soal Ekonomi, saya angkat dua jempol » semuanya kaya raya...
Namun....
Saat tua seperti ini dia "merasa hampa", ada "pilu
mendesak" disudut hatinya..
Tidur tak nyaman...
Dia berjalan memandangi foto-foto masa lalunya ketika masih perkasa
& enegik yg penuh kenangan
Di rumah yang besar dia merasa kesepian, tiada suara anak, cucu, hanya detak
jam dinding yang berbunyi teratur...
Punggungnya terasa sakit, sesekali air liurnya keluar dari
mulutnya....
Dari sudut mata ada air yang menetes.. rindu dikunjungi anak-anak
nya
Tapi semua anak nya sibuk dan tinggal jauh di kota atau negara
lain...
Ingin pergi ke tempat ibadah namun badan tak mampu berjalan....
Sudah terlanjur melemah...
Begitu lama waktu ini bergerak, tatapannya hampa, jiwanya kosong,
hanya gelisah yang menyeruak...
sepanjang waktu ....
Laki-laki renta itu, barangkali adalah Saya... atau barangkali
adalah Anda yang membaca tulisan ini suatu saat nanti_
Hanya menunggu sesuatu yg tak pasti...
yang pasti hanyalah kematian.
Rumah besar tak mampu lagi menyenangkan hatinya..._
Anak sukses tak mampu lagi menyejukkan rumah mewahnya yang ber
AC...
Cucu-cucu yang hanya seperti orang asing bila datang..._
Asset-asset produktif yang terus menghasilkan, entah untuk siapa .?
Kira-kira jika malaikat "datang menjemput", akan seperti
apakah kematian nya nanti.
Siapa yang akan memandikan ?
Dimana akan dikuburkan ?
Sempatkah anak kesayangan dan menjadi kebanggaannya datang mengurus
jenazah dan menguburkan?
Apa amal yang akan dibawa ke akhirat nanti?
Rumah akan di tinggal, asset juga akan di tinggal pula...
Anak-anak entah apakah akan ingat berdoa untuk kita atau tidak ???
Sedang ibadah mereka sendiri saja belum tentu dikerjakan ???
Apa lagi jika anak tak sempat dididik sesuai tuntunan
agama??? Ilmu agama hanya sebagai sisipan saja..._
"Kalau lah sempat" menyumbang yang cukup berarti di tempat ibadah,
Rumah Yatim, Panti Asuhan atau ke tempat-tempat di jalan Allah yang lainnya...
"Kalau lah sempat" dahulu membeli sayur dan melebihkan
uang pada nenek tua yang selalu datang......
"Kalau lah sempat" memberikan sandal untuk disumbangkan
ke tempat ibadah agar dipakai oleh orang yang memerlukan.....
"Kalau lah sempat" membelikan buah buat tetangga,
kenalan, kerabat, dan handai taulan...
Kalau lah kita tidak kikir kepada sesama, mungkin itu semua akan
menjadi "Amal Penolong" nya ...
Kalaulah dahulu anak disiapkan menjadi 'Orang yang shaleh', dan
'Ilmu Agama' nya lebih diutamaka
Ibadah sedekahnya di bimbing/diajarkan & diperhatikan, maka mungkin
senantiasa akan 'Terbangun Malam', 'meneteskan air mata' mendoakan orang tuanya
Kalaulah sempat membagi ilmu dengan ikhlas pada orang sehingga
bermanfaat bagi sesama...
"Kalaulah Sempat"
Mengapa kalau sempat ?
Mengapa itu semua tidak jadi perhatian utama kita ? Sungguh
kita tidak adil pada diri sendiri. Kenapa kita tidak lebih serius?
Menyiapkan 'bekal' untuk menghadap-Nya dan 'Mempertanggung Jawabkan
kepadaNya?
Jangan terbuai dengan 'Kehidupan Dunia' yang bisa
melalaikan.....
Kita boleh saja giat berusaha di dunia....tapi jadikan itu untuk
bekal kita pada perjalanan panjang & kekal di akhir hidup kita.
Teruslah menjadi "si penabur kebajikan"
selama hayat masih dikandung badan meski hanya sepotong pesan.
Semoga Bermanfaat...🙏 Prof. Dr. Ing.
BJ. Habibie
*dikutip dari UNGKAPAN HATI BJ HABIBIE - BKPP Kabupaten Demak Kamis, 7-11.2024 Pkl. 21.00 Wita Adapun versi visualnya : https://web.facebook.com/watch/?v=427413218791970
”barang
siapa membiarkan anaknya dalam ketidaktahuan tentang agama, maka seluruh dosa
anaknya ditimpakan kepada orang tuanya (Hadist).